MAKALAH
IJMA DAN QIYAS
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh
Semester III
Dosen pembimbing :
kambali, Drs. M.Pd.I
Disusun oleh :
DAIM
BIMBINGAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS WIRALODRA INDRAMAYU
2011/2012
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kepada Allah Yang Maha Esa dan Maha Kuasa, Pengusa segala kerajaan seluruh alam di langit dan bumi, Shalawat dan Salam tetap tercurah kepada Rasullallah Muhammad SAW.
Pengatar ushul fiqh, pengertian, Objek dan Manfaat Pembahasan serta Aliran dan Kitab dalam Ushul Fiqh adalah makalah yang penulis angkat sebagai bahan pemenuh program mata kuliah Fiqh Ibadah, tema yang diambil adalah tema yang disesuaikan dengan pilihan yang jamak diberikan di semester III.
Penulis sampaikan rasa terima kasih yang sangat luas kepada Kepada Bapak Kambali,Drs. M.Pd. I.,selaku dosen pembimbing mata kuliah ushul fiqih yang sudah menyempatkan waktunya untuk membimbing kami supaya mengerti ilmu ushul fiqh.
Semoga makalah ini bermanfaat, Penulis memohon ridho serta berkah dari Allah, kami meminta maaf dan terimaksih dari pemerhati serta saran dan kritik kami nantikan.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................. v
DAFTAR ISI............................................................................ vi
BAB I : PENDAHULUAN.......................................................... 1
BAB II : PEMBAHASAN...................................................... 2
1. Ijma’......................................................................... 2
2. Qiyas......................................................................... 5
BAB III PENUTUP.................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA................................................................ 18
BAB I
PENDAHULUAN
Ijma’ dan qiyas adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentasi dibawah dalil-dalil Nas (Al-Qur’an dan Hadits) ia merupakan dalil pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’
Namun ada komunitas umat islam tidak mengakui dengan adanya ijma’ dan qiyas itu sendiri yang mana mereka hanya berpedoman pada Al-Qur’an dan Al Hadits, mereka berijtihat dengan sendirinya itupun tidak lepas dari dua teks itu sendiri (Al-Qur’an dan Hadits).
Ijma’ dan qiyas muncul setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan ijtihad untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi.
“Khalifah Umar Ibnu Khattab ra. misalnya selalu mengumpulkan para sahabat untuk berdiskusi dan bertukar fikiran dalam menetapkan hukum, jika mereka telah sepakat pada satu hukum, maka ia menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum yang telah disepakati.
BAB II
PEMBAHASAN
1. IJMA’
A. Pengertian Ijma’
Ijma’ menurut bahasa artinya sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan menurut istilah “Kebulatan pendapat semua ahli ijtihad Umat Nabi Muhammd, sesudah wafatnya pada suatu masa, tentang suatu perkara (hukum syar'i).
Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’ dalam menetapkan suatu hukum, kerena segala persoalan dikembalikan kepada belia zx u, apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belum diketahui hukumnya. Maka menurut ulama ushul fiqh menetapkan rukun-rukun ijma .
1. Harus ada beberapa orang mujtahid dikala terjadinya peristiwa dan para mujtahid itulah yang melakukan kesepakatan (menetapkan hukum peristiwa itu. Seandainya tidak ada beberapa orang mujtahid di waktu terjadinya suatu peristiwa tentulah tidak akan terjadi ijma', karena ijma' itu harus dilakukan oleh beberapa orang.
2. Yang melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia Islam. Jika kesepakatan itu hanya dilakukan oleh para mujtahid yang ada pada suatu negara saja, maka kesepakatan yang demikian belum dapat dikatakan suatu ijma'.
3. Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia sependapat dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum (syara') dari suatu peristiwa yang terjadi pada masa itu. Jangan sekali-kali tersirat dalam kesepakatan itu unsur-unsur paksaan, atau para mujtahid yang diharapkan kepada suatu keadaan, sehingga ia harus menerima suatu keputusan. Kesepakatan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan pernyataan lisan, dengan perbuatan atau dengan suatu sikap yang menyatakan bahwa ia setuju atas suatu keputusan hukum yang telah disetujui oleh para mujtahid yang lain. Tentu saja keputusan yang terbaik ialah keputusan sebagai hasil suatu musyawarah yang dilakukan para mujtahid.
4. Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Seandainya terjadi suatu kesepakatan oleh sebahagian besar mujtahid yang ada, maka keputusan yang demikian belum pasti ke taraf ijma'. Ijma' yang demikian belum dapat dijadikan sebagai hujjah syari'ah.
B. Syarat-Syarat Ijma’
Dari definisi ijma’ di atas dapat diketahui bahwa ijma’ itu bisa terjadi bila memenuhi kriteria-kriteria di bawah ini.
1. Yang bersepakat adalah para mujtahid.
2. Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid.
3. Para mujtahid harus umat Muhammad SAW.
4. Dilakukan setelah wafatnya Nabi.
5. Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan Syariat.’
C. Macam-Macam Ijma’
Ijma’ ditinjau dari cara penetapannya ada dua:
1. Ijma’ Sharih; Yaitu para mujtahid pada satu masa itu sepakat atas hukum terhadap suatu kejadian dengan menyampaikan pendapat masing-masing mujtahid mengungkapkan pendapatnya dalam bentuk ucapan atau perbuatan yan mencerminkan pendapatnya.
2. Ijma’ Sukuti: Sebagian mujtahid pada satu masa mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap suatu peristiwa dengan fatwa atau putusan hukum. Dan sebagian yang lain diam, artinya tidak mengemukakan komentar setuju atau tidaknya terhadap pendapat yang telah dikemukakan.
D. Kemungkinan Terjadi Ijma’
Para ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan adanya ijma’ dan kewajiban melaksanakannya. Jumhur berkata, “ijma’ itu bisa terjadi bahkan telah terlaksana”. Sedangkan pengikut Nizam dan golongan Syi’ah menyatakan, ijma’ itu tidak mungkin terjadi, dengan mengemukakan beberapa argumen, antara lain:
Pertama, sesungguhnya ijma’ yang dimaksudkan oleh jumhur terntang diharuskannya adanya kesepakatan semua mujtahid pada suatu masa sehingga harus memenuhi dua kriteria:
1. Mengetahui karakter setiap mujtahid yang dikategorikan mampu untuk mengadakan ijma’.
2. Mengetahui pendapat masing-masing mujtahid tentang permasalahan tersebut.
Kedua, ijma’ itu harus bersandarkan kepada dalil, baik yang qath’I ataupun yang dhanni. Bila berlandaskan pada dalil qath’I maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu tidak membutuhkan ijma’. Sebaliknya bila didasarkan pada dalil yang dzanni, dapat dipastikan para ulama’ akan berbeda pendapat karena masing-masing mujtahid akan mengeluarkan pendapatnya dengan kemampuan berfikir daya nalar mereka, disertai berbagai dalil yagn menguatkan pendapat mereka.
2. QIYAS
A. Pengertian qiyas
Qiyas menurut bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.
Menurut para ulama ushul fiqh, ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan 'illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.
B. Rukun qiyas
Ada empat rukun qiyas, yaitu:
1. Ashal, yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Ashal disebut juga maqis 'alaih (yang menjadi ukuran) atau musyabbah bih (tempat menyerupakan), atau mahmul 'alaih (tempat membandingkan);
2. Fara' yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara' disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan);
3. Hukum ashal, yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara' seandainya ada persamaan 'illatnya; dan
4. 'IIIat, yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara'. Seandainya sifat ada pula pada fara', maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara' sama dengan hukum ashal.
C. Syarat-syarat qiyas
Telah diterangkan rukun-rukun qiyas. Tiap-tiap rukun itu mempunyai syarat-syarat sebagai berikut
a. Ashal dan fara'
Telah diterangkan bahwa ashal dan fara' berupa kejadian atau peristiwa. Yang pertama mempunyai dasar nash, karena itu telah ditetapkan hukumnya, sedang yang kedua tidak mempunyai dasar nash, sehingga belum ditetapkan hukumnya. Oleh sebab itu ashal disyaratkan berupa peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, sedang fara' berupa peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Hal ini berarti bahwa seandainya terjadi qiyas, kemudian dikemukakan nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya, maka qiyas itu batal dan hukum fara' itu ditetapkan berdasar nash yang baru ditemukan itu.
b. Hukum ashal
Ada beberapa syarat yang diperlukan bagi hukum ashal, yaitu:
1. Hukum ashal itu hendaklah hukum syara' yang amali yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash
2. 'Illat hukum ashal itu adalah 'illat yang dapat dicapai oleh akal.
3. Hukum ashal itu tidak merupakan hukum pengecualian atau hukum yang berlaku khusus untuk satu peristiwa atau kejadian tertentu.
Hukum ashal macam ini ada dua macam, yaitu:
1. 'Illat hukum itu hanya ada pada hukum ashal saja, tidak mungkin pada yang lain. Seperti dibolehkannya mengqashar shalat bagi orang musafir. 'IlIat yang masuk akal dalam hal ini ialah untuk menghilangkan kesukaran atau kesulitan (musyaqqat) Tetapi al-Qur'an dan al-Hadits menerangkan bahwa 'illat itu bukan karena adanya safar (perjalanan).
2. Dalil (al-Qur'an dan al-Hadits) menunjukkan bahwa hukum ashal itu berlaku khusus tidak berlaku pada kejadian atau peristiwa yang lain. Seperti beristri lebih dari empat hanya dibolehkan bagi Nabi Muhammad SAW saja dan istri beliau itu tidak boleh kawin dengan laki-laki lain walaupun beliau telah meninggal dunia, dan sebagainya.
c. 'Illat
'Illat ialah suatu sifat yang ada pada ashal yang sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum ashal serta untuk mengetahui hukum pada fara' yang belum ditetapkan hukumnya, seperti menghabiskan harta anak yatim merupakan suatu sifat yang terdapat pada perbuatan memakan harta anak yatim yang menjadi dasar untuk menetapkan haramnya hukum menjual harta anak yatim.
1. Syarat-syarat 'illat
Ada empat macam syarat-syarat yang disepakati ulama, yaitu:
1. Sifat 'illat itu hendaknya nyata, masih terjangkau oleh akal dan pancaindera. Hal ini diperlukan karena 'illat itulah yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum pada fara'. Seperti sifat menghabiskan harta anak yatim, terjangkau oleh pancaindera dan akal, bahwa 'illat itu ada pada memakan harta anak yatim (ashal) dan terjangkau pula oleh pancaindera dan akal bahwa 'illat itu ada pada menjual harta anak yatim (fara'). Jika sifat 'illat itu samar-samar, kurang jelas dan masih ragu-ragu, tentulah tidak dapat digunakan untuk menetapkan ada dan tidaknya hukum pada ashal.
2. Sifat 'illat itu hendaklah pasti, tertentu, terbatas dan dapat dibuktikan bahwa 'illat itu ada pada fara', karena asas qiyas itu adalah adanya persamaan illat antara ashal dan fara'. Seperti pembunuhan sengaja dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya hakekatnya adalah pasti, karena itu dapat dijadikan dasar qiyas atas peristiwa pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja oleh penerima wasiat terhadap orang yang telah memberi wasiat kepadanya.
3. 'Illat harus berupa sifat yang sesuai dengan kemungkinan hikmah hukum, dengan arti bahwa keras dugaan bahwa 'illat itu sesuai dengan hikmah hukumnya. Seperti memabukkan adalah hal yang sesuai dengan hukum haram minum khamar, karena dalam hukum itu terkandung suatu hikmah hukum, yaitu memelihara akal dengan menghindarkan diri dari mabuk. Pembunuhan dengan sengaja adalah sesuai dengan keharusan adanya qishash, karena dalam qishash itu terkandung suatu hikmah hukum yaitu untuk memelihara kehidupan manusia.
4. 'Illat itu tidak hanya terdapat pada ashal saja, tetapi haruslah berupa sifat yang dapat pula diterapkan pada masalah-masalah lain selain dari ashal itu. Seperti hukum-hukum yang khusus berlaku bagi Nabi Muhammad SAW tidak dijadikan dasar qiyas. Misalnya mengawini wanita lebih dari empat orang, berupa ketentuan khusus berlaku bagi beliau, tidak berlaku bagi orang lain. Larangan isteri-isteri Rasulullah saw kawin dengan laki-Iaki lain setelah beliau meninggal dunia, sedang wanita-wanita lain dibolehkan.
2. Pembagian 'Illat
Ditinjau dari segi ketentuan pencipta hukum (syari') tentang sifat apakah sesuai atau tidak dengan hukum, maka ulama ushul membaginya kepada empat bagian , yaitu:
a. Munasib mu'tsir
Yaitu persesuaian yang diungkapkan oleh syara' dengan sempurna, atau dengan perkataan lain bahwa pencipta hukum (syari') telah menciptakan hukum sesuai dengan sifat itu, seperti firman Allah SWT:
Artinya:
"Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid." (al-Baqarah: 222)
Pada ayat di atas Allah SWT (sebagai syari') telah menetapkan hukum, yaitu haram mencampuri isteri yang sedang haid. Sebagai dasar penetapan hukum itu ialah kotoran, karena kotoran itu dinyatakan dalam firman Allah SWT di atas sebagai 'illatnya. Kotoran sebagai sifat yang menjadi sebab haram mencampuri isteri yang sedang haid adalah sifat yang sesuai dan menentukan penetapan hukum.
b. Munasib mulaim
Yaitu persesuaian yang diungkapkan syara' pada salah satu jalan saja. Maksudnya ialah persesuaian itu tidak diungkapkan syara' sebagai 'illat hukum pada masalah yang sedang dihadapi, tetapi diungkapkan sebagai 'illat hukum dan disebut dalam nash pada masalah yang lain yang sejenis dengan hukum yang sedang dihadapi. Contohnya, ialah kekuasaan wali untuk mengawinkan anak kecil yang di bawah perwaliannya tidak ada nash yang menerangkan 'illatnya. Pada masalah lain yaitu pengurusan harta anak yatim yang masih kecil, syara' mengungkapkan keadaan kecil sebagai 'illat hukum yang menyebabkan wali berkuasa atas harta anak yatim yang berada di bawah perwaliannya itu. Berdasarkan pengungkapan syara' itu maka keadaan kecil dapat pula dijadikan 'illat untuk menciptakan hukum pada masalah lain, seperti penetapan kekuasaan wali dalam mengawinkan anak yatim yang berada di bawah perwaliannya.
c. Munasib mursal
Ialah munasib yang tidak dinyatakan dan tidak pula diungkapkan oleh syara'. Munasib mursal berupa sesuatu yang nampak oleh mujtahid bahwa menetapkan hukum atas dasarnya mendatangkan kemaslahatan, tetapi tiada dalil yang menyatakan bahwa syara' membolehkan atau tidak membolehkannya, seperti membukukan al-Qur'an atau mushhaf, tidak ada dalil yang membolehkan atau melarangnya. Tetapi Khalifah Utsman bin Affan melihat kemaslahatannya bagi seluruh kaum muslimin, yaitu al-Qur'an tidak lagi berserakan karena telah tertulis dalam satu buku serta dapat menghindarkan kaum muslimin dari kemungkinan terjadinya perselisihan tentang dialek al-Qur'an.
d. Munasib mulghaa
Yaitu munasib yang tidak diungkapkan oleh syara' sedikitpun, tetapi ada petunjuk yang menyatakan bahwa menetapkan atas dasarnya diduga dapat mewujudkan kemaslahatan. Dalam pada itu syara' tidak menyusun hukum sesuai dengan sifat atau 'illat tersebut, bahkan syara' memberi petunjuk atas pembatalan atas sifat tersebut. Sebagai contohnya, ialah kedudukan laki-Iaki dan perempuan dalam kerabat. Kemudian atas dasar persamaan itu mungkin dapat ditetapkan pula persamaan dalam warisan. Tetapi syara' mengisyaratkan pembatalannya dengan menyatakan bahwa bagian laki-Iaki adalah dua kali bagian perempuan.
D. Pembagian qiyas
Qiyas dapat dibagi kepada tiga macam , yaitu: 1. Qiyas 'illat; 2. Qiyas dalalah; dan 3. Qiyas syibih.
a. Qiyas 'illat
Qiyas 'illat, ialah qiyas yang mempersamakan ashal dengan fara' karena keduanya mempunyai persamaan 'illat. Qiyas 'illat terbagi:
1. Qiyas jali
Ialah qiyas yang 'illatnya berdasarkan dalil yang pasti, tidak ada kemungkinan lain selain dari 'illat yang ditunjukkan oleh dalil itu. Qiyas jali terbagi kepada:
a. Qiyas yang 'illatnya ditunjuk dengan kata-kata, seperti memabukkan adalah 'illat larangan minum khamr,yang disebut dengan jelas dalam nash.
b. Qiyas mulawi. Ialah qiyas yang hukum pada fara' sebenarnya lebih utama ditetapkan dibanding dengan hukum pada ashal. Seperti haramnya hukum mengucapkan kata-kata "ah" kepada kedua orangtua berdasarkan firman Allah SWT:
...........
Artinya: "Maka janganlah ucapkan kata-kata "ah" kepada kedua orangtua(mu)." (al-Isrâ': 23)
'Illatnya ialah menyakiti hati kedua orangtua. Bagaimana hukum memukul orang tua? Dari kedua peristiwa nyatalah bahwa hati orang tua lebih sakit bila dipukul anaknya dibanding dengan ucapan "ah" yang diucapkan anaknya kepadanya. Karena itu sebenarnya hukum yang ditetapkan bagi fara' lebih utama dibanding dengan hukum yang ditetapkan pada ashal.
c. Qiyas musawi
Ialah qiyas hukum yang ditetapkan pada fara' sebanding dengan hukum yang ditetapkan pada ashal, seperti menjual harta anak yatim diqiyaskan kepada memakan harta anak yatim. 'Illatnya ialah sama-sama menghabiskan harta anak yatim. Memakan harta anak yatim haram hukumnya berdasarkan firman Allah SWT:
•
Artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya, ia tidak lain hanyalah menelan api neraka ke dalam perutnya." (an-Nisâ': 10)
Karena itu ditetapkan pulalah haram hukumnya menjual harta anak yatim. Dari kedua peristiwa ini nampak bahwa hukum yang ditetapkan pada ashal sama pantasnya dengan hukum yang ditetapkan pada fara'.
2. Qiyas khafi
Ialah qiyas yang 'ilIatnya mungkin dijadikan 'illat dan mungkin pula tidak dijadikan 'illat, seperti mengqiyaskan sisa minuman burung kepada sisa minuman binatang buas. "IlIatnya ialah kedua binatang itu sama-sama minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya bercampur dengan sisa minumannya itu. 'IlIat ini mungkin dapat digunakan untuk sisa burung buas dan mungkin pula tidak, karena mulut burung buas berbeda dengan mulut binatang buas. Mulut burung buas terdiri dari tulang atau zat tanduk. Tulang atau zat tanduk adalah suci, sedang mulut binatang buas adalah daging, daging binatang buas adalah haram, namun kedua-duanya adalah mulut, dan sisa minuman. Yang tersembunyi di sini ialah keadaan mulut burung buas yang berupa tulang atau zat tanduk.
b. Qiyas dalalah
Qiyas dalalah ialah qiyas yang 'illatnya tidak disebut, tetapi merupakan petunjuk yang menunjukkan adanya 'illat untuk menetapkan sesuatu hukum dari suatu peristiwa. Seperti harta kanak-kanak yang belum baligh, apakah wajib ditunaikan zakatnya atau tidak. Para ulama yang menetapkannya wajib mengqiyaskannya kepada harta orang yang telah baligh, karena ada petunjuk yang menyatakan 'illatnya, yaitu kedua harta itu sama-sama dapat bertambah atau berkembang. Tetapi Madzhab Hanafi, tidak mengqiyaskannya kepada orang yang telah baligh, tetapi kepada ibadah, seperti shalat, puasa dan sebagainya. Ibadah hanya diwajibkan kepada orang yang mukallaf, termasuk di dalamnya orang yang telah baligh, tetapi tidak diwajibkan kepada anak kecil (orang yang belum baligh). Karena itu anak kecil tidak wajib menunaikan zakat hartanya yang telah memenuhi syarat-syarat zakat.
c. Qiyas syibih
Qiyas syibih ialah qiyas yang fara' dapat diqiyaskan kepada dua ashal atau lebih, tetapi diambil ashal yang lebih banyak persamaannya dengan fara'. Seperti hukum merusak budak dapat diqiyaskan kepada hukum merusak orang merdeka, karena kedua-duanya adalah manusia. Tetapi dapat pula diqiyaskan kepada harta benda, karena sama-sama merupakan hak milik. Dalam hal ini budak diqiyaskan kepada harta benda karena lebih banyak persamaannya dibanding dengan diqiyaskan kepada orang merdeka. Sebagaimana harta budak dapat diperjualbelikan, diberikan kepada orang lain, diwariskan, diwakafkan dan sebagainya
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ijma’ dan qiyas adalah suatu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif di bawah dalil-dalil nas (Al Quran dan hadits). Ia merupakan dalil-dalil setelah Al Quran dan hadits. Yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’.
Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’ dan qiyas dalam menetapkan suatu hukum, karena segala permasalahan dikembalikan kepada beliau, apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belum diketahui hukumnya.
Adapun dari ijma’ dan qiyas itu sendiri harus memenuhi syarat-syarat tertentu, agar dalam kesepakatan para mujtahid dapat diterima dan dijadikan sebagai hujjah/ sumber hukum.
Serta dari ijma’ dan qiyas itu sendiri terdapat beberapa macam. Dari beberapa versi itu lahirlah perbedaan-perbedaan dalam pandangan ulama’ mengenai ijma’ dan qiyas itu sendiri.
.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H. Alaiddin Koto, M.A. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta. PT Raja Grafindo persada. 2009.
http://ekonurdiansyah.blogspot.com/2011/04/ijma-dan-qiyas.html
Ustd. H. Mujiburrahman. Terjemah syarah Waroqot Kunci memahami ushul fiqh. Mutiara Ilmu. Cetakan ke-2. 2007.
http://makalah-gratis.blogspot.com/2007/09/ijma-ushul-fiqh.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar