MAKALAH
Pendidikan Dakwah Dalam Keluarga
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah pengantar ilmu dakwah
Semester III
Dosen pembimbing :
H. Rusydi, Drs.,MM
Disusun oleh :
DAIM
BIMBINGAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS WIRALODRA INDRAMAYU
2011/2012
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kepada Allah Yang Maha Esa dan Maha Kuasa, Pengusa segala kerajaan seluruh alam di langit dan bumi, Shalawat dan Salam tetap tercurah kepada Rasullallah Muhammad SAW.
Dengan suluruh tenaga yang saya punya akhirnya bisa menyelesaikan tugas mata kuliah pengantar ilmu dakwah yang bertemakan pendidikan dakwah dalam keluarga, makalah ini saya buat dengan sebaik-baiknya walaupun di dalamnya banyak kekurangan.
Penulis sampaikan rasa terima kasih yang sangat luas kepada Kepada Bapak H.Rusydi, Drs., MM.,selaku dosen pembimbing mata kuliah pengantar ilmu dakwah yang sudah menyempatkan waktunya untuk membimbing kami supaya mengerti tentang ilmu dakwah.
Semoga makalah ini bermanfaat, Penulis memohon ridho serta berkah dari Allah, kami meminta maaf dan terimaksih dari pemerhati serta saran dan kritik kami nantikan.
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahirrobil a’lamin, kita masih diberikan nikmat oleh sang maha raja dalam jagat dunia ini Allah SWT yang tidak pernah tidur dalam mengawasi seluruh tingkah laku kita, marilah kita bersama-sama panjatkan puji syukur atass kehadiratNya semoga kita selalu diberikan nikmat yang berlimpah ruah...Amin.
Sholawat serta salam semoga kita selalu dicurahkan kepada junjunan kita nabi Muhammad saw serta kepada ahli keluarganya dan umatnya terrmasuk kita ini. amin. Nabi Muhammad adalah pahlawan Yang sudah menuntaskan kita dari kegelapan jaman sampai kita bisa merasakan jaman moderen ini.
Dalam kesempatan ini saya akan mencoba membawakan pidato yang bertema pendidikan dakwah dalam keluarga, dalam keluarga tedapat beberapa unsur. Keluarga juga merupakan unit yang terrkecil dari negara jadi tidak aneh lagi generasi muda adalah pewaris negara dan seorang ibulah yang merupakan penentu dari itu.ada seorang penyair Arab yang bersyair seperti ini :
Seorang ibu ibarat sekolah…..
Apabila kamu siapkan dengan baik…..
Berarti kamu menyiapkan satu bangsa (generasi) yang unggul…..
Keluarga mempunyai pengaruh yang sangat dominan dalam pembentukan anak-anak dan penentuan jalan hidup mereka. Bahkan keluarga adalah peletak dasar bagi pewarisan agama dan akhlak (moral).
Seorang penyair Arab bertutur :
Generasi muda kita akan terbentuk
Sesuai apa yang dibiasakan ayahnya.
Peran ayah dalam rumah tangga Islam sangat berpengaruh terhadap pendidikan keluarga dan anak-anaknya. Al-Qur’an menggambarkan bagaimana kehebatan dan kekuatan tekad sang anak, Nabi Ismail as merespon mimpi yang disampaikan sang ayah. Nabiyullah Ibrahim as terbukti telah berhasil menanamkan pendidikan tauhid yang begitu agung dalam jiwa si anak, Ismail karena bagaimanapun sang anak tak bisa terdidik dan memiliki sikap yang begitu kuat begitu saja tanpa sentuhan pendidikan dan pembinaan orang tua. Dan Ismail telah membuktikan hasil pendidikan ayahnya nabi Ibrahim as dalam sikapnya yang rela berkorban apapun demi terlaksananya perintah Allah.
Pendidikan dalam Islam tentang hubungan sang ayah terhadap keluarga telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Karena bila kita mengetahui bahwa Rasulullah menikah dan mempunyai keluarga itu sebenarnya merupakan jawaban dan contoh konkrit peran-peran ayah dalam keluarganya. Rasulullah adalah juru dakwah paling agung, mujahid paling mulia, dan beliau menikah, itu tandanya Rasulullah SAW juga membina rumah tangganya.
Rasulullah mempunyai perhatian yang tinggi terhadap anak-anak. Rasulullah tertawa bersama anak-anak dan sholat bersama mereka. Dari Abu Qotadah disebutkan “Rasulullah SAW sholat bersama kami sambil menggendong Umamah binti Zainab. Jika beliau sujud diletakkannya Umamah dan bila beliau berdiri digendongnya.” Betapa besar perjuangan yang harus dijalani Rasulullah untuk memancangkan tonggak dakwah di masa-masa awal untuk mempersiapkan estafet kepemimpinan masa depan.
Seorang lelaki datang menghadap Amirul Mukminin Umar bin Khattab melaporkan tentang kedurhakaan anaknya. Khalifah lantas memanggil anak yang dikatakan durhaka itu dan mengingatkan bahaya durhaka pada orang tua. Saat ditanya sebab kedurhakaannya, anak itu mengatakan “Wahai Amirul Mukminin, tidaklah seorang anak, mempunyai hak yang harus ditunaikan orang tua?” “ya,” jawab Khalifah. “Apakah itu?” Tanya anak itu. Khalifah menjawab, “Ayah wajib memilihkan ibu yang baik buat anak-anaknya, memberi nama yang baik dan mengajarinya Al-Qur’an.” Lantas sang anak menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, tidak satupun dari 3 perkara itu yang ditunaikan ayahku. Ibuku Majusi, namaku Ja’lan dan aku tidak pernah diajarkan Al-Qur’an.
Umar bin Khattab lalu menoleh kepada ayah anak itu dan mengatakan, “Anda datang mengadukan kedurhakaan anakmu, ternyata anda telah mendurhakainya sebelum ia mendurhakaimu. Anda telah berlaku tidak baik terhadapnya sebelum ia berlaku tidak baik kepada anda.”
Lantas.. apakah hanya ayah saja sebagai pihak yang menanamkan pendidikan dalam diri anak-anak?
Tidak ada satu orangpun yang menafikan peran-peran besar yang ada di tangan seorang ibu bagi masa depan anak-anak. Pada saat Maryam melahirkan putranya yang menjadi nabi yang mulia tanpa ayah, dikatakan padanya : “Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina.” Ini menunjukkan pengaruh kedua orang tuanya akan mewarnai keturunannya bahkan oleh cucu-cucunya.
Para ilmuwan dan agamawan menegaskan bahwa orang tua mewariskan kepada anak-cucunya sifat-sifat jasmaniyah dan ruhaniyah melalui gen yang mereka miliki. Dalam bahasa hadits, Nabi menamai gen dengan ‘iriq’. Beliau berpesan agar calon ayah berhati-hati dalam memilih tempat untuk menaburkan benih yang mengandung gen karena al-‘irqu dassas (gen sedemikian kecil dan tersembunyi namun memberi pengaruh pada keturunan). Inilah yang merupakan salah satu sebab mengapa Al Qur’an melarang seorang muslim menikah dengan seorang musyrik atau seorang pezina.
• •
Artinya : Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin ( Q.S. An Nuur : 3 )
Maksud ayat ini Ialah: tidak pantas orang yang beriman kawin dengan yang berzina, demikian pula sebaliknya.
Ibu, bagaimanapun mempunyai pengaruh penting pada kepribadian anak sehingga mereka bisa merasakan kenyamanan, keteduhan, dan kepercayaan diri yang kuat menjalani hidupnya.
Ibu… dalam bahasa Al-Qur’an dinamai dengan umm. Dari akar kata yang sama dibentuk kata imam (pemimpin) dan ummat. Semua bermuara pada makna “yang dituju atau yang diteladani”. Umm atau ibu melalui perhatiannya kepada anak serta keteladanannya dapat menciptakan pemimpin-pemimpin bahkan membina ummat, pada gilirannya berpengaruh pada masa depan bangsa. Sebaliknya jika yang melahirkan seorang anak tidak berfungsi sebagai umm maka ummat akan hancur dan pemimpin yang layak untuk diteladani tidak akan lahir.
Ketika Al-Qur’an menempatkan kewajiban berbuat baik kepada orang tua khususnya ibu – pada urutan kedua setelah kewajiban taat kepada Allah dan Rasul-Nya, agaknya bukan hanya disebabkan ibu memikul beban berat dalam mengandung, melahirkan, dan menyusui anak. Tetapi karena ibu dibebani tugas menciptakan pemimpin-pemimpin umat.
Fungsi dan peranan inilah yang menjadikannya sebagai umm atau ibu. Dan demi suksesnya fungsi tersebut, Allah menganugerahkan kepada kaum ibu struktur biologis dan ciri psikologis yang berbeda dengan kaum bapak. Peranan ini tidak dapat diremehkan atau dikesampingkan. Beban dan tanggung jawab peran ini menyamai pekerjaan suami di luar rumah. Sehingga syariat telah mengarahkan kedua jenis ini kepada apa yang layak bagi masing-masing dan melaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Kemampuan-kemampuan khusus yang dimiliki oleh beberapa wanita tidak menghapus cirri dari peran ini.
Ulama besar kenamaan, Ibnu Hazm (384-456) mengatakan : baik dan terpuji apabila seorang ibu atau istri, mencuci, membersihkan, mengatur rumah tempat tinggalnya, tetapi itu bukan merupakan kewajibannya. Agaknya, ketika ulama besar ini mengemukakan pendapat ini seribu tahun yang lalu dan diidamkan oleh pelopor emansipasi, beliau ingin menekankan pentingnya kewajiban ibu dalam mendidik anak-anaknya.
Begitu besar peran ibu, maka para ahli mengatakan, “Tidak disangsikan lagi bahwa peran perempuan yang terpenting dalam kehidupan adalah sebagai ibu dan pendidik generasi, dimana dalam peran ini, seorang perempuan memberikan sumbangsih bagi masyarakat dengan segala unsur pembangunan dan kemajuan. Sebesar apa ketulusannya dalam kepentingan ini, sebesar itu pula hasil yang diterima seluruh umat.”
Oleh karena itulah generasi yang kuat dan unggul merupakan buah dari anak-anak yang tidak disia-siakan dan ditelantarkan. Mereka dibina oleh para ibu yang waspada dan oleh para ayah yang sadar.
Anak berbuat salah itu biasa, terkadang cukup dengan menegurnya ia pun mengerti dan membuatnya bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Namun adakalanya sebuah kesalahan yang diperbuat oleh anak menjadi tidak dapat diterima karena bersifat fatal sehingga kita pun berpikir untuk memberinya hukuman dengan maksud agar ia jera dan tak mengulangi kesalahan yang sama di masa mendatang. Adalah hal yang wajar jika sebuah kesalahan diganjar dengan sebuah hukuman, meskipun sebetulnya memaafkan itu lebih baik. Memberi hukuman kepada anak yang berbuat salah dapat menjadi sebuah pilihan di kala tujuan kita adalah untuk memberinya pelajaran, bukan untuk menyiksanya. Namun hati-hati, alih-alih membuat anak jera, jika caranya tidak tepat justru membuat anak trauma psikis, bahkan dendam kepada orang tua.
Sebelum berpikir untuk memberikan hukuman kepada anak, hendaklah memperhatikan hal-hal berikut:
Pertama, Buatlah kesepakatan bersama dengan anak tentang hal-hal yang boleh dan tidak diperbolehkan untuk dilakukan. Hal ini dapat menjadi dasar yang kuat bagi anak untuk berjuang dan berusaha melakukan apa yang telah disepakati bersama. Penanaman karakter sejak dini akan membantu anak mematuhi norma-norma keluarga meskipun tanpa harus tertulis hitam di atas putih, ia tertanam kuat di dalam jiwanya, sehingga inilah yang akan membuat karakter positif di dalam dirinya memancar sangat kuat. Pahamkan kepada anak tentang konsekuensi logis alamiah dari setiap kesalahan yang dapat dilakukan, misalkan jika bangun terlambat otomatis ia akan ketinggalan bus, terlambat sampai di sekolah, dan seterusnya. Jika ia menghamburkan makanan ringannya, ia akan kehilangan kesempatan menikmati snack pada hari berikutnya karena Ibu tidak akan menambahkan snack dalam daftar belanja bulan ini, dan seterusnya.
Kedua, Jika anak terlanjur berbuat kesalahan, konfirmasikan tentang kesalahan yang telah anak perbuat, seperti mengapa ia melakukan hal tersebut, bisa saja ia melakukan bukan karena sengaja ingin membangkang kepada orang tua, tetapi lebih karena ia penasaran terhadap suatu hal atau terpengaruh oleh teman-temannya. Hal yang wajar jika usia anak hingga remaja memiliki rasa penasaran yang tinggi terhadap sesuatu yang baru. Hal ini mendukung sistem komunikasi terbuka antara anak dan orang tua, anak terdorong untuk menceritakan yang sebenarnya karena percaya kepada orang tuanya.
Ketiga, Agar anak mengerti bahwa orang tua sangat marah dan kecewa atas apa yang telah dilakukannya, maka kemukakan apa yang dirasakan kepada anak. Ini membantu anak untuk mengerti bahwa perbuatan yang dilakukannya tidak dapat diterima dan membuat kecewa, sehingga timbul perasaan tidak enak dalam diri anak. Katakanlah, “Ibu sangat marah dan kecewa dengan apa yang kamu lakukan”, “Ayah kecewa kamu melakukannya”, dan sejenisnya. Biarkan anak memikirkannya sejenak, tentang apa yang telah diperbuatnya dan juga perasaan anda sebagai orang tuanya.
Keempat, Hendaknya suasana tidak enak seperti itu jangan sampai terbawa lama-lama, artinya, ekspresikan bahwa meskipun anak Anda telah berbuat kesalahan, Anda tetap mencintai dan mendukungnya. Ungkapan ini tidak mesti berupa untaian kalimat, “aku sayang kamu” atau “aku tetap mencintaimu”. Pelukan hangat, senyuman yang tulus dan sebuah ide makan malam bersama di warung/restoran favorit akan menunjukkan bahwa anda tetap mencintainya.
Kelima, Apakah boleh menghukum anak? Kalau saja kita dapat memilih, tentu saja kita akan memilih untuk menghindari hukuman dalam mendidik anak-anak kita. Namun ada beberapa konflik yang sifatnya kasuistik yang tak mampu kita hindari. Dan dalam hal ini rujukan kita adalah kisah-kisah nubuwwah yang Rasulullah wariskan kepada umatnya. Diriwayatkan dari Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Al Hakim bahwa Nabi SAW bersabda, “ Suruhlah anak-anakmu melakukan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun; dan pukullah mereka (karena meninggalkannya) ketika mereka berusia sepuluh tahun; dan pisahkanlah tempat tidur mereka”. Dari hadits tersebut apa yang kita pelajari? Ya, dari hadits tersebut Rasulullah secara tersirat menyampaikan bahwa didiklah anak untuk mendirikan shalat sebelum menghukum mereka karena meninggalkannya. Waktu 3 tahun dari tujuh menuju sepuluh tahun bukanlah waktu yang pendek untuk mendidik anak kita tentang kewajiban shalat, maka perhatikanlah, bahwa Rasulullah mendahulukan pendidikan penuh kelembutan dan kasih sayang dan mengakhirkan hukuman, yaitu ketika anak tidak melaksanakan apa yang telah kita ajarkan. Dan pukulan yang dimaksud pun bukanlah pukulan yang menyakiti, bukan pukulan yang meninggalkan bekas hitam kemerah-merahan pada tubuhnya, bukan pukulan yang tujuannya menyiksa, namun sebuah pukulan yang memberikannya pelajaran/hikmah bahwa Meninggalkan shalat adalah sebuah perkara besar yang membuat murka Allah SWT, dan jua orang tua yang telah mendidiknya.
Hendaklah dipahami bahwa hukuman yang dilaksanakan dapat memberikan pelajaran bagi anak, dan melatihnya tentang berpikir sebab-akibat dari perbuatan yang dilakukannya. Hukuman sebenarnya tidak berlaku jika kita sudah berdiskusi dengan anak tentang sebab-akibat dari suatu perbuatan, namun jika ia melanggarnya itu berarti ia sudah siap dengan konsekuensi yang telah ada. Hukuman keras seperti membentak, mencaci, atau pukulan di pantat seringkali tidak efektif dan justru menjauhkan anak dari sikap patuh dan penyesalan atas apa yang diperbuatnya. Apakah berarti hukuman fisik dapat mempengaruhi hubungan anak-orang tua atau harga diri sang anak? Mungkin saja tidak, namun banyak ahli yang merasa tidak nyaman untuk merekomendasikannya sebagai alat pendisiplinan anak, lagipula hukuman fisik sebenarnya tidak perlu kita terapkan selama masih ada cara efektif yang lain
Benar gak sih, ada seorang ibu yang tidak pernah marah selama mendidik anak-anaknya? Terbayanglah dari benak dengan sebuah jawaban, tidak mungkin ada. Tapi, apa yang digembar-gemborkan oleh buku-buku pendidikan anak baik metode dan tips-tips praktis mencetak generasi cerdas nan cemerlang, maupun artikel-artikel serta dialog-dialog interaktif di mass media dapat disimpulkan bahwa seolah-olah seorang ibu dalam mendidik anaknya harus perfect alias sempurna. Atau dengan kata lain tidak boleh ada kesalahan sedikit pun dalam mengarahkan anak-anaknya.
Sosok ibu merupakan panutan bagi anak-anaknya, di manapun di belahan bumi ini. Mengantarkan seorang anaknya agar siap secara psikis dalam memulai masuk jenjang sekolah formal, bukanlah pekerjaan mudah. Oleh karena itu banyak dari kalangan ibu yang mencari bahan-bahan bacaan, baik artikel, tabloid, majalah, berita, maupun mengikuti sebuah seminar, pelatihan cara mendidik anak. Home schooling, misalnya.
Memang ada ungkapan kata-kata bijak dari seorang tokoh pembaharu yang mengatakan bahwa “pendidikan bukanlah segala-galanya, tetapi segala-galanya dimulai dari pendidikan”. Kalau kita pikir-pikir dan renungkan, statement tersebut benarlah adanya. Tidak bisa tidak, mendidik anak menjadi cerdas nan cemerlang atau sholih, mau tidak mau, suka tidak suka, sempat tidak sempat harus mencari ilmu dulu bagaimana mendidik itu. Kalau mau mencetak anak yang cerdas tidak pakai pendidikan khusus orang tua atau khusus guru yang akan membimbingnya, ya pastilah hasilnya gagal atau paling tidak sesuai dengan standar.
Saya yakin Anda pernah membaca buku tentang cara mendidik anak, tersebutlah disana sederet aturan ataupun tips-tips mengarahkan anak menjadi generasi yang kokoh, baik mental, spiritual maupun kecerdasannya. Bahasa agak kerennya anak menjadi paripurna dalam aspek Emotional Intelligent, Spiritual Intelligent, dan ketinggian skor IQ.
Akan tetapi pernahkan Anda berpikir bahwa orang tua atau sebutlah seorang ibu tidak pernah berbuat kesalahan dalam mendidik anak-anaknya? Betulkah orang tua atau seorang ibu bahkan seorang guru tidak diperbolehkan melakukan kesalahan dalam mendidik anak didiknya? Bahasa gampangnya mendidik anak dengan sedikit kebablasan amarah yang dikedepankan.
Seorang ibu juga manusia, ingat itu. Yang namanya manusia pastilah punya seabrek kelemahan dan kesalahan. Inilah realita yang ada di masyarakat manusia. Idealnya memang seperti apa yang saya tulis di awal, bahwa mendidik anak harus dengan cinta, kasih sayang, kelembutan. Ya, benar sekali. Tidak salah. Tetapi, mendidik anak dengan cinta, bukan berarti tidak boleh ada kesalahan, bukan berarti tadak boleh marah.
Satu analogi tentang pendidikan terhadap seekor kucing, saya yakin Anda pernah melihat kucing yang sangat patuh maupun kucing yang bandel. Bagi Anda yang pernah mendidik kucing kesayangannya atau kucing liar, pasti Anda pernah memukulnya alias marah terhadapnya karena tidak mau mengikuti perintah Anda.
Pernah terpikir oleh Anda tidak, bahwa hal tersebut boleh jadi efektif dalam mendidik si kucing sehingga dia menjadi binatang piaraan yang mau disuruh kesana-kemari. Tetapi ternyata, si kucing tadi patuhnya hanya saat Anda yang menyuruh. Tapi jika disuruh oleh orang lain, ia sama sekali ‘tidak bergerak’. Nah, kira-kira apa yang bisa kita renungkan dari analogi mendidik kucing tadi?. Anda lebih tahu dari saya.
Kemarahan terkadang efektif untuk sebuah pembiasaan terhadap suatu perilaku, tetapi biasanya hanya berlaku temporer dan parsial. Artinya, disini saya ingin mengatakan bahwa melakukan kesalahan dalam mendidik anak dengan terkadang mengedepankan amarah itu hanya kesalahan yang bisa ditolelir selama Anda segera menyadarinya. Tetapi jika amarah terus berlanjut sampai kronis, saya ingatkan bahwa anak Anda dilahirkan bukan untuk dimarahi. Jangan jadikan ia menjadi seorang yang sadis seperti Anda ketika marah.
Kemarahan adalah hal yang manusiawi, yang tidak perlu terlalu dipusingkan. Setelah Anda marah kepada buah hati, segera lakukan yang namanya ‘ishlah’, perbaikan dengan memeluk anak tersebut, akui kesalahan, belailah ia dengan belaian yang hangat, katakan “maafin ibu ya nak, ibu akan merubah sikap ibu, ibu hanya tidak suka pada perilaku adik yang kurang baik, bukan sama adik, ibu sayang kamu”. Atau mungkin Anda punya kata-kata yang lebih menggugah hati si buah hati Anda dalam mengungkapkan rasa penyesalan ibu atas sikap amarah tadi.
Jadi pendidikan dakwah dalam keluarga sangat penting apalagi seorang ibu, dia merupakan guru pertama yang dalam memberikan pendidikan tapi tidak lepas seorang ayah pun merupakan guru dalam keluarga yang sama pentingnya dalam memberikan dakwah pada anaknya. Nah apabila ada maslah dengan anak sebaiknya. Pertama, Buatlah kesepakatan bersama dengan anak tentang hal-hal yang boleh dan tidak diperbolehkan untuk dilakukan. Kedua, Jika anak terlanjur berbuat kesalahan, konfirmasikan tentang kesalahan yang telah anak perbuat, seperti mengapa ia melakukan hal tersebut, bisa saja ia melakukan bukan karena sengaja ingin membangkang kepada orang tua, tetapi lebih karena ia penasaran terhadap suatu hal atau terpengaruh oleh teman-temannya. Ketiga, Agar anak mengerti bahwa orang tua sangat marah dan kecewa atas apa yang telah dilakukannya, maka kemukakan apa yang dirasakan kepada anak. Ini membantu anak untuk mengerti bahwa perbuatan yang dilakukannya tidak dapat diterima dan membuat kecewa, sehingga timbul perasaan tidak enak dalam diri anak. Keempat, Hendaknya suasana tidak enak seperti itu jangan sampai terbawa lama-lama, artinya, ekspresikan bahwa meskipun anak Anda telah berbuat kesalahan, Anda tetap mencintai dan mendukungnya. , Apakah boleh menghukum anak? Kalau saja kita dapat memilih, tentu saja kita akan memilih untuk menghindari hukuman dalam mendidik anak-anak kita. Namun ada beberapa konflik yang sifatnya kasuistik yang tak mampu kita hindari. Kelima, Apakah boleh menghukum anak? Kalau saja kita dapat memilih, tentu saja kita akan memilih untuk menghindari hukuman dalam mendidik anak-anak kita. Namun ada beberapa konflik yang sifatnya kasuistik yang tak mampu kita hindari. Mungkin itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan pada kali ini semoga bermanfaat, apabila ada kekurangan saya mohon maaf. Terimakasih atas perhatiannya
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar